Refleksi Siluet Luthfie Maula Alfianto di Pantai

"Takwa itu letaknya di sini" Ujar Rasulullah seraya menunjuk ke dada beliau tiga kali dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.

Dari sekian banyak hal yang dapat dijadikan ukuran, Rabb yang Maha Tahu menjadikan ukuran kemuliaan justru dengan ukuran yang tak dapat terindera. Ia tak dapat diukur dari apa yang nampak saja. Kita terhijab dengan hal yang ghaib. Tapi justru sebab itulah, kita perlu lebih pandai melihat ke dalam diri kita sendiri daripada mengukur apa yang tidak dapat kita ketahui pada orang lain. Kuncinya: bercermin.


Allah anugerahkan kedua mata untuk melihat sekeliling kita tetapi kita justru kesulitan untuk melihat diri kita sendiri. Karena hal itu, akhirnya kita pun sibuk memperhatikan apa yang ada di depan mata kita: setiap detilnya, baik buruknya, cela dan sempurnanya. Cermin membantu kita menampilkan apa yang tidak dapat dilihat langsung oleh mata kita. Memproyeksikan semuanya dengan utuh tanpa efek yang dapat mempercantik rupa seperti yang kita temukan pada kamera depan ponsel pintar. Pribadi seperti apa yang kamu lihat dalam cermin itu?

Mata yang disibukkan melihat ke luar terkadang diperkuat dengan sikap badan kita yang gemar menunjuk atau sikap yang menunjukkan bahwa kita tengah menunjuk. Bisa jadi dengan telunjuk, atau dengan gestur badan. Sibuk menilai ini dan itu pada orang lain.

Jika saja takwa itu dapat dilihat bentuknya seperti halnya kekayaan yang nampak dari jumlah harta, tentu kita tidak perlu kesulitan menilai siapa yang shalih dan siapa yang salah. Jika saja takwa dapat dilihat bentuknya seperti halnya rupa tidak akan sulit rasanya bagi kita untuk memilih siapa orang yang layak kita percaya. Jika saja ia dapat dilihat sebagaimana ukuran pangkat dalam pekerjaan, tentu kita tidak akan kesulitan menentukan pilihan siapa presiden yang layak memimpin negeri kita tercinta. Ya, kalau saja. Terhijabnya takwa justru memberikan kepada kita lebih banyak ruang untuk merefleksikannya pada diri sendiri.

Bisa jadi ia yang bersahaja, yang tak banyak tampil di hadapan manusia, yang doanya seketika menembus langit dan diijabah menjadi selaksa kebaikan. Padahal hadirnya tak dikenal, hilangnya tak dicari, sementara ia amat dirindu oleh para penghuni langit.

Bisa jadi justru ia yang banyak diam dalam majelis, yang menyimak dengan perhatian penuh, yang mengubah ilmunya menjadi amal-amal takwa dengan utuh. Bukan ia yang aktif, gemar bertanya atau mencatat isi kajiannya.

Bisa jadi justru ia yang memiliki banyak karunia harta, yang menjadi pribadi paling zuhud di antara kita. Ada dan tidaknya harta tak menghalangi syukurnya. Melimpah maupun sedikitnya perolehan materi tak mengurangi amal ibadahnya. Dermanya melimpah, tersembunyi dan barakah.

Ah jangan membentur-benturkan hal yang tak perlu, bukankah semua kebaikan itu bisa dilakukan sekaligus? Ya, tentu.

Adapun lintasan pikiran ini hanya ingin bercerita bahwa tugas kita sebenarnya dua, sibuknya kita ada pada dua hal saja, yakni senantiasa berjuang untuk menjadi orang yang bertakwa dan jangan pernah memandang orang lain dengan pandangan yang merendahkan. Sebab bisa jadi ia lebih dimuliakan oleh Rabb Yang Maha Mulia sebab takwanya yang lebih utama daripada kita.

-------------------------------
Thought on Life Wisdom

Pena 1. Menata Jalan Akhir
Pena 2. Khawatirkan yang Perlu Dikhawatirkan
Pena 3. Menjaga Cermin Diri
Pena 4. Gantungkan Harap pada Tempatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar