Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepadaku,
"Bagaimana bisa Aku mencintai sejarah sementara membaca bukunya saja sudah bisa membuatku pusing dengan halaman berisi nama, tanggal dan tempat."

Selintas, Saya pun dapat melihat bagaimana diri saya satu dekade yang lalu. Ketika itu Saya melihat sejarah sebagai sebagai sebuah pelajaran di sekolah yang memabukkan. Bagi saya menghafalkan nama, tanggal, tempat kejadian dari suatu hal yang sudah berlalu itu melelahkan dan tidak menarik. Itu sebabnya dalam sebuah kompetisi antar sekolah, nilai sejarah saya amat buruk. Tanggal meletusnya perang Diponegoro saja lupa. Duh!

Hal yang berbeda Saya dapatkan ketika saya beranjak SMA dan masuk ke perguruan tinggi. Saat ini Saya dapat dengan senang hati menyatakan bahwa Saya menyukai sejarah walau masih sangat pilih pilih dalam mempelajarinya. Bagaimana bisa seperti itu? Saya menemukan pemaknaan yang dalam dari mempelajari sejarah yang membuat saya merasa haus akan pelajaran dari kisah para pendahulu.

"Those who do not learn history are doomed to repeat it." Ujar George Santayana (1863-1952), filsuf yang digadang sebagai man of letters di Amrik. Seperti itu pula Saya melihat bagaimana sejarah bermanfaat bagi diri Saya.

Sejarah adalah sarana bagi kita untuk dapat berkaca, melihat ke belakang, mengumpulkan hikmah yang berserakan, menjelajahi jalan gelap di masa depan berbekal obor dan petunjuk yang diberikan para pendahulu kita. Menarik ya? Kita dapat memperoleh banyak pemaknaan dan pembelajaran kala membacanya.

Hal yang menarik Saya dapatkan ketika Saya mulai mempelajari satu per satu karakter dan kehidupan setiap tokoh sejarah. Melihat mereka sebagai seorang pribadi yang memiliki keunikan, ambisi, cita, pandangan terhadap kehidupan, pemikiran dan hal-hal lainnya. Dalam-dalam Saya mulai membandingkan bagaimana keadaan diri Saya saat ini dengan keadaan mereka kala itu. Hasilnya? Serasa dihantam oleh pukulan Saitama. Menyisakan banyak pertanyaan yang membuat kita terus berpikir.

Mereka berjuang sebegitu kerasnya dalam membela Islam, Saya sudah bisa apa?
Mereka mewakafkan waktu, pikir dan tenaga untuk mengurusi umat. Lah, Saya?
Mereka sedikit dalam berkata. Namun, sekalinya lisan mengucapkan kalimat, rasanya tiap kata amat jernih dan mendalam
Mereka pantang menyerah, tulus walau banyak pula rintangannya. Saya?

Jika menggapai surga ibarat balap lari, mereka berlari laksana Usain Bolt dalam ajang Olympic: lincah, cepat, jauh tempuhannya, kuat staminanya. Sementara diri sendiri mungkin seperti kelinci dalam kisah balap larinya dengan kura kura. Merasa sudah cepat padahal tak ada apa-apanya.

Mencari kebijaksanaan dan pemaknaan. Itulah yang membuat Saya pun pilih-pilih dalam membaca topik sejarah. Saya hanya tertarik pada sejarah bangsa tertentu yang bagi Saya memiliki amat banyak pelajaran dan kebijaksanaan hidup. Maka dengan begitu sejarah bangsa Semit masuk dalam list, China dan Jepang menyusul pada urutan berikutnya dengan skor yang tidak jauh berbeda antar keduanya. Sementara dalam sejarah bangsa Indonesia sendiri, kisah kerajaan Mataram memimpin sebagai bacaan favorit Saya. Sebab dalam sejarah Islam Mataram, Saya melihat ada begitu banyak pemaknaan Islam yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikan hidup sarat makna, kaya akan nilai. Ia ditanamkan dalam beragam bentuk: makanan, tradisi, arsitektur, tata kota, pakaian, hingga senjata.

Selain itu, tidak jarang Saya jadi turut membayangkan bagaimana kejadian nyata yang terjadi di masa tersebut. Secara otomatis otak berperan sebagai produser film, merekrut pemain dengan karakter terbaik, membuat setting tempat yang epik, menyusun dialog, membuat mega properti, merancang efek, hingga mencari background music yang membuat kejadian terbayangkan semakin dramatik. Film itu berputar di dalam otak dengan begitu serunya. Apalagi jika sudah bercerita soal kepahlawanan dalam peperangan. I think my own version of movie a lot better than LOTR series (just kidding).

Itu sebabnya jika nama-nama tokoh, tempat, tanggal dan waktu kejadian membuat kita malas membuka buku sejarah... ketika tebalnya jumlah halaman buku membuat kita kehilangan selera untuk membaca... cobalah kita mencari motivasi lain yang membuat aktivitas ini menjadi lebih menyenangkan. Jika masih kesulitan juga, engkau bisa meminta orang lain untuk menceritakan apa yang ia baca :)

Selamat belajar sejarah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar